JAKARTA, Deliksatu.com – Seyoganya dilakukan penyesuaian terhadap pelantikan hakim sehingga dapat dibedakan dengan pelantikan pejabat PNS lainnya.
Di Laksanakan Focus Group Discussion (FGD) yang membahas naskah kebijakan kewenangan pelantikan calon hakim (cakim) menjadi hakim oleh Ketua MA RI.
Kegiatan diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne Mahkamah Agung RI. Selanjutnya penyampaian laporan kegiatan dari Kepala Pustrajak Kumdil MA RI, Dr. H, Andi Akram, S.H., M.H. dan sambutan pembukaan oleh Kepala Badan Strajak Diklat Kumdil MA RI, Bambang Heri Mulyono, S.H., M.H.
Dalam kegiatan FGD tersebut, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial (WKMA RI Bidang Non Yudisial), H. Suharto, S.H., M.Hum hadir sebagai keynote speaker atau pembicara utama.
Dalam paparannya dia menyampaikan, kewenangan pelantikan calon hakim (cakim) menjadi hakim oleh Ketua MA RI adalah isu hukum yang up to date.
Mengingat, baru saja Presiden RI Prabowo Subianto melakukan pelantikan para kepala daerah secara serentak. Dikarenakan selama ini kewenangan pelantikan kepala daerah setingkat wali kota/bupati dilakukan oleh gubernur atau Mendagri secara berjenjang.
Sebagai pemimpin tertinggi di lingkungan kekuasaan pemerintahan (eksekutif). presiden dapat menarik delegasi dan mengambil alih kewenangan untuk melakukan pelantikan bupati/wali kota sebagai kepala daerah secara serentak, sebagaimana ketentuan Pasal 164B UU Nomor 10 Tahun 2016.
Bilamana disamakan dengan bupati/wali kota yang dilantik serentak oleh presiden, maka hakim merupakan pejabat negara dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yang mungkin dilantik secara serentak oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
Namun kendalanya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang badan peradilan tidak memberikan kewenangan secara atributif kepada Ketua MA RI untuk lakukan pelantikan calon hakim menjadi hakim.
Lebih lanjut Suharto menyampaikan, dalam UU Peradilan Umum, Agama dan TUN, menentukan, hakim pengadilan tingkat pertama diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Sedangkan Ketua MA RI diberikan kewenangan melantik ketua pengadilan tingkat banding.
Sehingga, pengambilan sumpah hakim tingkat pertama menjadi hakim oleh ketua pengadilan tingkat pertama seperti layaknya pejabat PNS lainnya di lingkungan pengadilan seperti panitera, sekretaris, panitera pengganti dan juru sita/juru sita pengganti.
Padahal, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 58 huruf e UU ASN dan Pasal 19 jo Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan, kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Maka seyogianya dilakukan penyesuaian terhadap pelantikan hakim sehingga dapat dibedakan dengan pelantikan pejabat PNS lainnya.
Selain itu, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan pula bahwa dalam sistem peradilan satu atap (one roof system) pembinaan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya berada di bawah Mahkamah Agung.
Hal itu menarik didiskusikan, khususnya mengenai penafsiran hukum yang memungkinkan Ketua MA selaku pimpinan kekuasaan kehakiman untuk melakukan pelantikan calon hakim menjadi hakim.
Berdasarkan analisis regulasi, evaluasi praktik empiris dan kajian konseptual, terdapat tiga pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk pelantikan calon hakim menjadi hakim oleh Ketua MA, yakni pertama, pengambilan sumpah dan pelantikan oleh Ketua MA; kedua, pelantikan (tanpa pengambilan sumpah) oleh Ketua MA; ketiga, pengukuhan oleh Ketua MA pascaterbitnya Keppres Pengangkatan Hakim.
“Kegiatan FGD yang melibatkan para ahli hukum baik internal atau eksternal MA RI, akan memperkuat tiga usulan kebijakan,” ungkap mantan Jubir MA RI tersebut.
Di ujung paparannya, WKMA Non Yudisial menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim peneliti yang dikoordinatori oleh Dr. Budi Suhariyanto, S.H., M.H.. Selain itu, kegiatan FGD diharapkan memperkuat usulan dari tiga kebijakan hasil penelitian naskah kebijakan kewenangan pelantikan calon hakim menjadi hakim oleh Ketua MA RI.
Setelah WKMA Non Yudisial selesai memberikan pemaparan, berikutnya dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh para nara sumber dan diskusi.
Pemaparan pertama disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu/anggota Tim Peneliti Naskah Kebijakan, Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. dan dilanjutkan oleh beberapa ahli hukum yaitu Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Guru Besar fakultas Hukum Universitas Padjajaran) dan Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran).
Adapun sesi pemaparan materi dan diskusi tersebut dimoderatori oleh Dr. Sudarsono, S.H., M.H., Hakim Yustisial pada Kamar Tata Usaha Negara MA dengan peserta yang terdiri dari Direktur Pembinaan Tenaga Teknis dari berbagai lingkungan peradilan, Kepala Biro Hukum dan Humas MA RI, Kepala Biro Kepegawaian MA RI, Kepala Pusdiklat Teknis Peradilan, Badan Strajak Diklat Kumdil MA RI, Kepala Pusdiklat Menpim Badan Strajak Diklat Kumdil MA RI, Kepala Bagian Peraturan Perundang-undangan BUA MA RI, peneliti BRIN, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP), serta Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Editor : Glend