Menteri Nusron Usul UU Administrasi Pertanahan Baru untuk Akhiri Tumpang Tindih Lahan

JAKARTA, deliksatu.comMenteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan perlunya kebijakan nasional yang lebih komprehensif untuk menata ulang administrasi pertanahan di Indonesia.

Ia menilai penyelesaian persoalan tumpang tindih lahan tidak cukup dilakukan secara kasus per kasus, melainkan membutuhkan dasar hukum baru yang bersifat menyeluruh.

“Ini perlu ada kesepakatan nasional. Harus ada Undang-Undang Administrasi Pertanahan yang baru. Nantinya dalam UU tersebut perlu diberikan masa transisi, sama seperti UU Pertanahan dulu, yang memberi waktu 20 tahun untuk mendaftar ulang eigendom dan hak-hak barat,” ujar Menteri Nusron dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Baca Juga  Peringatan HANTARU 2024, Menteri AHY: Sejuta Lebih Sertipikat Tanah Elektronik Telah Terbit, untuk Layanan ke Masyarakat dan Investor yang Lebih Baik

Menteri Nusron menjelaskan bahwa sebagian besar laporan tumpang tindih lahan yang masuk ke Kementerian ATR/BPN berkaitan dengan sertipikat yang diterbitkan pada periode 1961–1997. Karena itu, ia menilai perlu adanya pengaturan khusus untuk menyelesaikan masalah historis tersebut.

“Kita buat UU Administrasi Pertanahan, dan kita umumkan bahwa pemegang sertipikat terbitan 1961 sampai 1997 diberi batas waktu lima atau sepuluh tahun untuk melakukan penyesuaian. Setelah itu, tutup buku. Kalau tidak, persoalan ini tidak akan pernah selesai,” tegasnya.

Dalam rapat yang sama, Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyampaikan bahwa problem agraria tidak sepenuhnya berada di pundak BPN. Menurutnya, banyak persoalan muncul akibat tumpang tindih regulasi antarkementerian dan lembaga.

Baca Juga  Wujudkan Pemasyarakatan Bersih, Lapas Kelas 1 Tangerang Gelar Ikrar Anti Halinar

“Makna filosofis dari UU Pokok Agraria itu adalah keadilan sosial. Namun UU Kehutanan, UU BUMN Nomor 16 Tahun 2025, dan UU Perbendaharaan Negara justru mendorong privatisasi aset tanpa batas waktu. Secara filosofis saja ini sudah paradoks,” ujarnya.

Khozin menambahkan bahwa pola permasalahan agraria sebenarnya serupa, hanya lokasi yang berbeda-beda. “Ada kerusakan konstitusional dan benturan regulasi. Sebagai pembuat undang-undang, DPR memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menyelesaikan ini,” tegasnya.

Baca Juga  Blackstone Capital Perkuat Inovasi Agrikultur Terintegrasi Indonesia

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI sekaligus pimpinan rapat, Zulfikar Arse Sadikin, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah pembenahan sistem pertanahan yang dilakukan Kementerian ATR/BPN. “Komisi II berkomitmen mendukung sepenuhnya, termasuk terkait kebutuhan anggaran,” ucapnya.

Rapat ini turut dihadiri para Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama Kementerian ATR/BPN serta diikuti melalui daring oleh jajaran Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan se-Indonesia.
(EL/YZ)

Editor : Glend